Oleh: Misdalena
Istilah sumber belajar sudah sering diperbincangkan terutama di lingkungan masyarakat kependidikan. Apabila setting-nya sekolah, berbicara mengenai sumber belajar, maka yang pertama-tama terlintas di dalam pemikiran adalah guru yang berperan sebagai sumber belajar bagi para peserta didiknya. Apabila sedikit agak lebih lama, maka yang terlintas berikutnya di alam pikiran kita adalah buku, baik itu buku pegangan guru maupun buku pegangan peserta didik. Guru menggunakan buku untuk membantu dirinya menyajikan materi pelajaran kepada segenap peserta didiknya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pertanyaan yang mungkin terlontar adalah apa yang terlintas di dalam benak kita kalau anak belajar di rumah? Demikian juga dengan anak yang sedang belajar di perpustakaan sekolah atau perpustakaan umum, apa yang segera muncul di dalam benak kita? Apa pula yang akan mencuat di dalam pikiran kita kalau dikatakan bahwa seorang atau sekelompok anak sedang belajar di warung internet, di depan sebuah televisi atau di sebuah taman? Masih banyak lagi setting yang dapat digunakan sebagai tempat belajar. Jika demikian, lantas apa yang terbersit di dalam pikiran kita setiap kita mendengar seseorang belajar dengan setting tertentu?
Dari uraian tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa belajar itu dapat terjadi di mana-mana, baik di sekolah, di rumah, perpustakaan sekolah atau perpustakaan umum, di warung internet, di sebuah taman atau pendeknya di mana saja? Belajar sudah jelas, tidak lagi hanya terbatas di lingkungan sekolah. Oleh karena belajar tidak hanya terjadi di sekolah tetapi dapat terjadi di mana saja, maka dapat pula dikemukakan bahwa sumber belajar itu tidak lagi terbatas pada guru tetapi jauh lebih luas daripada guru. Berdasarkan informasi yang telah dikemukakan di atas, dapatlah dikatakan bahwa sumber belajar dapat berupa guru, buku, internet, televisi atau lingkungan (baca: taman). Apabila demikian halnya, maka pertanyaannya sekarang adalah apa yang dimaksudkan dengan sumber belajar? Pertanyaan berikutnya yang juga dipandang penting adalah apa yang dimaksudkan sebagai kegiatan ”belajar”? Sumber belajar menurut Yusufhadi Miarso adalah segala sesuatu yang meliputi pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan, baik secara tersendiri maupun terkombinasikan dapat memungkinkan terjadinya belajar. Sumber belajar dapat dirancang secara khusus untuk digunakan bagi kepentingan pembelajaran (learning resources by design) tetapi sumber belajar dapat juga sebagai sesuatu yang tinggal dimanfaatkan karena sudah tersedia di lingkungan (learning resources by utilization). Kemudian, istilah belajar dapat diartikan sebagai suatu proses interaksi antara seseorang dengan sumber belajar yang menghasilkan terjadinya perubahan tingkah laku. Selanjutnya, pola pemanfaatan sumber belajar yang dikembangkan pada tahap awal sekali adalah interaksi langsung antara peserta didik dengan sumber belajar yang berupa guru atau seseorang yang memang mempunyai pengetahuan lebih untuk disampaikan kepada peserta didik. Dalam hal ini, guru merupakan satu-satunya sumber belajar bagi peserta didiknya. Bahkan pada zaman dahulu dikenal adanya kaum Sufi yang profesi atau pekerjaannya adalah sebagai ”penjaja ilmu pengetahuan”. Contoh lain dari pola pembelajaran secara langsung antara guru (pendekar silat) sebagai sumber belajar dengan peserta didik (mereka yang ingin belajar silat) yang pada umumnya banyak dijumpai di negeri Cina (Shaolin). Pola pemanfaatan sumber belajar yang kedua adalah masih juga tetap menggunakan guru tetapi fungsinya hanya sebagai sumber belajar utama (bukan lagi satu-satunya sumber belajar) karena dibantu oleh sumber belajar lainnya. Dalam kaitan ini, sumber belajar lainnya yang digunakan guru untuk menyajikan materi pelajaran dapat saja berupa media, baik yang berupa alat/fasilitas, media cetak (misalnya buku, modul atau handouts), media kaset audio, media audiovisual. Pada pola pemanfaatan sumber belajar tahap kedua ini, sumber belajar guru merupakan pihak yang sangat menentukan (sangat dominan) apakah dirinya akan memanfaatkan media atau tidak dalam membelajarkan peserta didiknya. Artinya, pemanfaatan media sebagai sumber belajar lain di luar guru sangat tergantung pada sikap dan komitmen guru. Media diperlakukan guru sebagai alat bantu mengajar (teaching aids). Yang namanya alat bantu mengajar, tentu bisa digunakan dan bisa juga tidak digunakan. Manakala guru sebagai sumber belajar utama sudah ”media minded”, maka pemanfaatan media akan dilakukan secara terencana. Pola pemanfaatan sumber belajar yang ketiga adalah bahwa guru dan media sebagai sumber belajar lainnya berbagi fungsi atau peran secara seimbang. Artinya, guru mempunyai fungsi/peran tertentu yang kurang lebih sama bobotnya dan fungsi/peran media sebagai sumber belajar lainnya. Ada pembagian tugas yang jelas antara guru dan media dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Peserta didik belajar mengenai aspek-aspek tertentu dari materi pelajar melalui sumber belajar guru dan aspek-aspek tertentu lainnya dari sumber belajar yang berupa media. Pola pemanfaatan sumber belajar yang keempat adalah bahwa peran guru sudah lebih banyak dilimpahkan kepada media sebagai sumber belajar lain. Media sebagai sumber belajar lain mendapatkan peran yang lebih besar (lebih dominan) dibandingkan dengan peran yang dimainkan guru. Sekalipun demikian peran guru sebagai sumber belajar masih tetap dibutuhkan peserta didik tetapi hanya sebagai fasilitator, motivator dan pemberian tutorial dalam kegiatan pembelajaran. Namun demikian tidaklah berarti bahwa peran guru yang lebih kecil itu membuat guru menjadi ”kurang berarti” dalam kegiatan pembelajaran. Bahkan peran guru menjadi lebih fokus pada pemberian bimbingan belajar secara individual kepada peserta didik terutama yang mengalami kesulitan. Pola pemanfaatan sumber belajar yang kelima adalah bahwa peserta didik yang sepenuhnya langsung berinteraksi dengan sumber belajar yang berupa media. Dalam kaitan ini, ada istilah yang mengatakan bahwa seseorang berhasil mempelajari suatu pengetahuan atau keterampilan tanpa mengikuti kursus atau les. Orang yang demikian ini disebut belajar secara otodidak. Terlebih lagi di era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini, siapa saja mandiri. Seseorang yang ingin belajar membuat ikan pepes misalnya, tidak perlu harus mencari koki yang akan membelajarkannya untuk membuat ikan pepes. Dengan membeli dan mempelajari buku masak tentang memasak berbagai jenis ikan dan kemudian mempraktekkannya, maka orang yang bersangkutan akan dapat membuat ikan pepes. Artinya, seseorang cukup berinteraksi dengan sumber belajar yang berupa buku. Atau, melalui akses internet dengan memasukkan kata kunci tertentu sesuai dengan yang dibutuhkan ke dalam mesin pencari, maka seseorang akan mendapatkan banyak sumber belajar yang dapat dipelajari. Dari berbagai jenis poa pemanfaatan sumber yang telah dikemukakan, yang jauh lebih penting adalah pemahaman tentang keterbatasan dan kelebihan baik sumber belajar yang berupa guru, maupun sumber belajar lain di luar guru. Melalui pemahaman yang demikian ini disertai dengan komitmen memberikan yang terbaik kepada peserta didik, maka seorang guru akan membuat Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang terintegrasi di mana fungsi atau peran dirinya tidak lagi terlalu dominan dalam kegiatan pembelajaran tetapi sebagian telah dilimpahkan pada sumber belajar lain di luar dirinya. Jika kegiatan pembelajaran yang diterapkan guru berbasis aneka sumber, maka diharapkan kegiatan pembelajaran pun akan dirasakan peserta didik sebagai kegiatan yang menyenangkan. Kegiatan belajar akan menjadi kegiatan yang senantiasa dirindukan peserta didik karena menyenangkan (learning is fun).
Istilah sumber belajar sudah sering diperbincangkan terutama di lingkungan masyarakat kependidikan. Apabila setting-nya sekolah, berbicara mengenai sumber belajar, maka yang pertama-tama terlintas di dalam pemikiran adalah guru yang berperan sebagai sumber belajar bagi para peserta didiknya. Apabila sedikit agak lebih lama, maka yang terlintas berikutnya di alam pikiran kita adalah buku, baik itu buku pegangan guru maupun buku pegangan peserta didik. Guru menggunakan buku untuk membantu dirinya menyajikan materi pelajaran kepada segenap peserta didiknya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pertanyaan yang mungkin terlontar adalah apa yang terlintas di dalam benak kita kalau anak belajar di rumah? Demikian juga dengan anak yang sedang belajar di perpustakaan sekolah atau perpustakaan umum, apa yang segera muncul di dalam benak kita? Apa pula yang akan mencuat di dalam pikiran kita kalau dikatakan bahwa seorang atau sekelompok anak sedang belajar di warung internet, di depan sebuah televisi atau di sebuah taman? Masih banyak lagi setting yang dapat digunakan sebagai tempat belajar. Jika demikian, lantas apa yang terbersit di dalam pikiran kita setiap kita mendengar seseorang belajar dengan setting tertentu?
Dari uraian tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa belajar itu dapat terjadi di mana-mana, baik di sekolah, di rumah, perpustakaan sekolah atau perpustakaan umum, di warung internet, di sebuah taman atau pendeknya di mana saja? Belajar sudah jelas, tidak lagi hanya terbatas di lingkungan sekolah. Oleh karena belajar tidak hanya terjadi di sekolah tetapi dapat terjadi di mana saja, maka dapat pula dikemukakan bahwa sumber belajar itu tidak lagi terbatas pada guru tetapi jauh lebih luas daripada guru. Berdasarkan informasi yang telah dikemukakan di atas, dapatlah dikatakan bahwa sumber belajar dapat berupa guru, buku, internet, televisi atau lingkungan (baca: taman). Apabila demikian halnya, maka pertanyaannya sekarang adalah apa yang dimaksudkan dengan sumber belajar? Pertanyaan berikutnya yang juga dipandang penting adalah apa yang dimaksudkan sebagai kegiatan ”belajar”? Sumber belajar menurut Yusufhadi Miarso adalah segala sesuatu yang meliputi pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan, baik secara tersendiri maupun terkombinasikan dapat memungkinkan terjadinya belajar. Sumber belajar dapat dirancang secara khusus untuk digunakan bagi kepentingan pembelajaran (learning resources by design) tetapi sumber belajar dapat juga sebagai sesuatu yang tinggal dimanfaatkan karena sudah tersedia di lingkungan (learning resources by utilization). Kemudian, istilah belajar dapat diartikan sebagai suatu proses interaksi antara seseorang dengan sumber belajar yang menghasilkan terjadinya perubahan tingkah laku. Selanjutnya, pola pemanfaatan sumber belajar yang dikembangkan pada tahap awal sekali adalah interaksi langsung antara peserta didik dengan sumber belajar yang berupa guru atau seseorang yang memang mempunyai pengetahuan lebih untuk disampaikan kepada peserta didik. Dalam hal ini, guru merupakan satu-satunya sumber belajar bagi peserta didiknya. Bahkan pada zaman dahulu dikenal adanya kaum Sufi yang profesi atau pekerjaannya adalah sebagai ”penjaja ilmu pengetahuan”. Contoh lain dari pola pembelajaran secara langsung antara guru (pendekar silat) sebagai sumber belajar dengan peserta didik (mereka yang ingin belajar silat) yang pada umumnya banyak dijumpai di negeri Cina (Shaolin). Pola pemanfaatan sumber belajar yang kedua adalah masih juga tetap menggunakan guru tetapi fungsinya hanya sebagai sumber belajar utama (bukan lagi satu-satunya sumber belajar) karena dibantu oleh sumber belajar lainnya. Dalam kaitan ini, sumber belajar lainnya yang digunakan guru untuk menyajikan materi pelajaran dapat saja berupa media, baik yang berupa alat/fasilitas, media cetak (misalnya buku, modul atau handouts), media kaset audio, media audiovisual. Pada pola pemanfaatan sumber belajar tahap kedua ini, sumber belajar guru merupakan pihak yang sangat menentukan (sangat dominan) apakah dirinya akan memanfaatkan media atau tidak dalam membelajarkan peserta didiknya. Artinya, pemanfaatan media sebagai sumber belajar lain di luar guru sangat tergantung pada sikap dan komitmen guru. Media diperlakukan guru sebagai alat bantu mengajar (teaching aids). Yang namanya alat bantu mengajar, tentu bisa digunakan dan bisa juga tidak digunakan. Manakala guru sebagai sumber belajar utama sudah ”media minded”, maka pemanfaatan media akan dilakukan secara terencana. Pola pemanfaatan sumber belajar yang ketiga adalah bahwa guru dan media sebagai sumber belajar lainnya berbagi fungsi atau peran secara seimbang. Artinya, guru mempunyai fungsi/peran tertentu yang kurang lebih sama bobotnya dan fungsi/peran media sebagai sumber belajar lainnya. Ada pembagian tugas yang jelas antara guru dan media dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Peserta didik belajar mengenai aspek-aspek tertentu dari materi pelajar melalui sumber belajar guru dan aspek-aspek tertentu lainnya dari sumber belajar yang berupa media. Pola pemanfaatan sumber belajar yang keempat adalah bahwa peran guru sudah lebih banyak dilimpahkan kepada media sebagai sumber belajar lain. Media sebagai sumber belajar lain mendapatkan peran yang lebih besar (lebih dominan) dibandingkan dengan peran yang dimainkan guru. Sekalipun demikian peran guru sebagai sumber belajar masih tetap dibutuhkan peserta didik tetapi hanya sebagai fasilitator, motivator dan pemberian tutorial dalam kegiatan pembelajaran. Namun demikian tidaklah berarti bahwa peran guru yang lebih kecil itu membuat guru menjadi ”kurang berarti” dalam kegiatan pembelajaran. Bahkan peran guru menjadi lebih fokus pada pemberian bimbingan belajar secara individual kepada peserta didik terutama yang mengalami kesulitan. Pola pemanfaatan sumber belajar yang kelima adalah bahwa peserta didik yang sepenuhnya langsung berinteraksi dengan sumber belajar yang berupa media. Dalam kaitan ini, ada istilah yang mengatakan bahwa seseorang berhasil mempelajari suatu pengetahuan atau keterampilan tanpa mengikuti kursus atau les. Orang yang demikian ini disebut belajar secara otodidak. Terlebih lagi di era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini, siapa saja mandiri. Seseorang yang ingin belajar membuat ikan pepes misalnya, tidak perlu harus mencari koki yang akan membelajarkannya untuk membuat ikan pepes. Dengan membeli dan mempelajari buku masak tentang memasak berbagai jenis ikan dan kemudian mempraktekkannya, maka orang yang bersangkutan akan dapat membuat ikan pepes. Artinya, seseorang cukup berinteraksi dengan sumber belajar yang berupa buku. Atau, melalui akses internet dengan memasukkan kata kunci tertentu sesuai dengan yang dibutuhkan ke dalam mesin pencari, maka seseorang akan mendapatkan banyak sumber belajar yang dapat dipelajari. Dari berbagai jenis poa pemanfaatan sumber yang telah dikemukakan, yang jauh lebih penting adalah pemahaman tentang keterbatasan dan kelebihan baik sumber belajar yang berupa guru, maupun sumber belajar lain di luar guru. Melalui pemahaman yang demikian ini disertai dengan komitmen memberikan yang terbaik kepada peserta didik, maka seorang guru akan membuat Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang terintegrasi di mana fungsi atau peran dirinya tidak lagi terlalu dominan dalam kegiatan pembelajaran tetapi sebagian telah dilimpahkan pada sumber belajar lain di luar dirinya. Jika kegiatan pembelajaran yang diterapkan guru berbasis aneka sumber, maka diharapkan kegiatan pembelajaran pun akan dirasakan peserta didik sebagai kegiatan yang menyenangkan. Kegiatan belajar akan menjadi kegiatan yang senantiasa dirindukan peserta didik karena menyenangkan (learning is fun).
0 komentar:
Posting Komentar